top of page
Search

SERIBU KEMUNGKINAN DI SAKU USANG

  • Writer: Karef Hamit Training Center
    Karef Hamit Training Center
  • 6 days ago
  • 2 min read

Jalanan becek Gang Cigombong selalu menyambutnya dengan aroma lumpur basah. Matahari pagi belum sepenuhnya naik, namun langkah kaki Georgino sudah terayun lincah. Di saku celana abu-abunya yang sedikit kedodoran, terlipat selembar uang kertas seribu rupiah yang sudah lemas dan berbau apek. Itu adalah anggaran harian totalnya.

Seribu. Cukup untuk ongkos angkot ke sekolah, dan itu berarti sarapan harus dilupakan. Perutnya sudah terbiasa kosong. Sensasi perih di lambung adalah alarm rutin yang ia abaikan setiap pagi.


"Georgino, cepat sini! Nanti keburu telat ulangan!" suara Dominggu memanggil dari gerbang sekolah.


Georgino tahu apa artinya panggilan itu. Di kelas, saat ulangan Fisika atau Kimia—bidang yang ia kuasai—Dominggu dan beberapa teman lainnya akan menggerayangi mejanya dengan kode-kode rahasia. Tugas Georgino hanya satu: tutup mata dan biarkan mereka melihat. Setelah bel istirahat, Georgino akan menerima ‘komisi’ yang tidak terucapkan.


Beberapa keping receh, mungkin sisanya bisa ia gabungkan dengan seribu rupiahnya untuk membeli sebungkus nasi kucing atau gorengan di kantin. Ironis memang, bekal makan siangnya adalah hasil dari ‘jasa bimbingan’ yang ia berikan secara paksa.


Sore hari, setelah bel terakhir berdering, Georgino tidak pernah langsung pulang. Jarak rumah ke sekolah sebenarnya bisa ditempuh dengan jalan kaki, tetapi ia memilih rute yang lebih panjang. Berkeluyuran. Menjelajahi toko buku bekas, melihat etalase yang memamerkan peralatan sains, atau sekadar duduk di bangku taman kota.


Rumah baginya hanyalah tempat tidur. Tidak ada kegiatan yang berarti, tidak ada orang yang menunggunya dengan antusiasme yang hangat. Kehidupan di luar rumah, meskipun keras, terasa lebih hidup. Ia bisa membiarkan otaknya yang terampil dalam mengutak-atik rumus dan hukum alam bekerja bebas.


Namun, di balik kepintarannya itu, Georgino adalah pemimpi yang sangat realistis. Ia tahu batas kemampuannya.

“Sekolah ke luar negeri? Ah, itu lelucon. Itu mimpi orang-orang yang bisa sarapan tiap pagi,” bisiknya pada diri sendiri suatu sore sambil menendang kerikil. Ia hanya bermimpi sebatas lulus SMA, mencari pekerjaan yang layak, dan mungkin bisa makan tiga kali sehari tanpa perlu 'memberikan jasa' kepada teman sekelas.


Tapi semesta punya rencana lain. Talenta sainsnya yang tak tertandingi akhirnya meledak. Georgino berhasil menjuarai Lomba Fisika tingkat dunia. Kemenangan itu, yang terasa bagaikan mimpi di siang bolong, menghantarnya pada beasiswa penuh. Tiba-tiba, Georgino si Anak Seribu Rupiah mendapati dirinya memegang tiket pesawat menuju Brisbane, Australia.


Ini bukan sekadar studi. Ini adalah pembuktian bahwa seribu rupiah di masa lalu adalah bibit, bukan batas.


Kini, di tengah gemerlap lampu negara bagian Brisbane, Australia yang asing, Georgino tidak pernah lupa akan Seribu Rupiah itu. Itu adalah pengingat akan tujuan sejatinya.


Mimpinya kini tidak lagi soal kelangsungan hidup. Mimpinya lebih besar, dan berakar kuat di tanah airnya: Indonesia.


“Saya ingin kembali,” gumamnya, memandang cakrawala. “Saya ingin Indonesia maju dan berkembang. Saya ingin orang-orangnya, terutama yang seperti saya dulu, bisa hidup sejahtera. Saya harus bisa membantu mereka sukses.”


Seribu rupiah dulu adalah beban. Sekarang, seribu rupiah adalah janji. Sebuah janji yang harus ia tunaikan untuk tanah airnya, agar tidak ada lagi anak yang menjadikan mencontek sebagai modal utama untuk makan siang.


 
 
 

Recent Posts

See All

Comments


Feel free to share your thoughts and feedback with me.

© 2023 by The New Masters Wear No Uniform. All rights reserved.

bottom of page