top of page
Search

BUKAN SEKADAR MANGGA

  • Writer: Karef Hamit Training Center
    Karef Hamit Training Center
  • 6 days ago
  • 5 min read
ree

Pada suatu malam hujan di London — hujan yang seperti sudah hafal jam kerja diplomat — sebuah amplop lusuh terselip di bawah pintu kantor kecil seorang atase pertahanan Republik Indonesia. Mayor Manuel Freitas memungutnya, mengusap air hujan dari permukaan amplop, lalu membacanya di bawah lampu meja yang menggigil dingin.

Isi surat itu pendek:“Untuk Giorgino — anak yang dulu melempar mangga. Dunia lebih besar dari yang kita kira.”


Tidak ada tanda tangan. Hanya foto kecil: seorang anak berdiri di depan sungai keruh, memegang sebuah piala kecil yang terlihat terlalu bersinar untuk latar belakangnya.

Freitas tertawa kecil. “Giorgino… anak itu,” gumamnya.


Ia menuliskan balasan di bagian belakang foto — sesuatu yang tak pernah ia kirimkan:“Kalau kamu rajin sejak kecil, mungkin kamu sudah menulis dari Mars.”

Dan begitu cerita ini dimulai. Tidak dari awal, tidak dari tengah — tetapi dari sebuah foto yang entah bagaimana masih ingat bagaimana matahari memantul di air sungai.

Giorgino kecil tidak pernah membayangkan dunia di luar kampungnya. Dunia baginya terdiri dari:

  • sungai yang baunya berubah sesuai musim,

  • parit tempat ia mencari ikan dengan tangan kosong,

  • pohon mangga yang seolah menjadi supermarket gratis bagi anak-anak nakal,

  • dan sekolah yang sekadar formalitas sebelum lempar-mangga-sore.


Ketika guru bertanya, “Anak-anak, apa cita-cita kalian?”Teman-temannya menjawab: polisi, tentara, pilot.

Giorgino menjawab, “Saya mau makan mangga tiap hari.”

Guru itu memijat pelipisnya, bukan karena lelah, tapi karena tahu Giorgino tidak sedang bercanda.

“Gio, kau pernah mimpi besar?”“Pernah Bu.”“Apa?”“Dapat mangga dua biji.”


Dan begitulah kehidupan berjalan tanpa ambisi muluk.

Sekolah hanyalah jeda antara permainan dan pekerjaan rumah tangga. Di tempat seperti itu, mimpi bukan pelajaran — mimpi dianggap barang mahal yang tidak dijual di kios dekat jembatan.


Namun suatu hari, ada sebuah buku tua yang mengubah ritme hidupnya…

Guru baru datang: Bu Renata. Usianya muda, energinya terlalu besar untuk ukuran kampung. Ia tidak sekadar mengajar; ia bercerita, seolah dunia adalah lembaran besar yang menunggu ditarik ke depan anak-anak.


Suatu hari ia membawa buku lawas berjudul “Ajaibnya Sains di Sekitar Kita.”

Halaman buku itu sudah bertarung dengan rayap, tapi Bu Renata membacanya seolah membacakan kitab kesayangan.


Di sana Giorgino mendengar kata yang membuat hatinya bergerak: “eksperimen.”

Eksperimen? Apa lagi itu?Baginya eksperimen hanyalah memancing ikan pakai senter atau menguji kekuatan kulit mangga dengan lemparan.

Tapi kata itu tinggal. Menempel. Merayap. Sampai beberapa minggu kemudian, Bu Renata harus pindah — alasan keluarga. Ia hanya meninggalkan satu hal: buku itu.

Dan buku itu menjadi portal pertama bagi Giorgino.Portal kecil, tapi cukup untuk membiarkan cahaya masuk.


Beralih ke masa kini: sebuah kedai kopi di London.Duduklah di sana seorang pria — kulit sawo matang, rambut sedikit beruban, seragam rapi. Gelas kopi di tangannya bukan sekadar minuman; itu adalah cara dia bertahan menghadapi ironi hidup di kota yang menurutnya “titik pusat peradaban tertinggi sebelum manusia pindah ke bulan.”

Namanya: Mayor Manuel Freitas.

Walau bermarga Timor-Portugis, masa kecilnya justru banyak dihabiskan di Jakarta — kota di mana ia belajar dua hal:

  1. kemacetan adalah ujian kesabaran,

  2. malas sekolah bisa jadi seni tersendiri.

“Saya dulu agak malas,” katanya pada Giorgino. “Tapi lihat sekarang, saya kerja di London!”

“Pantas dibilang peradaban ya, Mayor.”

“Oh, jelas. Di sini, orang antri bangun tidur. Saking beradabnya.”

Mereka tertawa. Lalu Freitas berkata setengah bercanda, setengah menyesal:

“Kalau saya rajin dari kecil, mungkin saya bertugas di Mars. Atau di kantor pertahanan koloni Bulan.”

Giorgino membalas, “Mayor, kalau saya rajin dari kecil, mungkin saya sudah juara fisika antargalaksi.”

“Kau dari kampung mana, Gio?”“Dari tepi sungai di Papua.”“Ooo…” Freitas menaruh gelasnya. “Kau pasti punya banyak cerita nakal.”

Gio tertawa.“Mayor, masa kecil saya hanya tiga hal: mangga jatuh, ikan lari, dan ayah bertanya kenapa nilai sekolah saya seperti grafik turun.”

“Tapi kau akhirnya mewakili Indonesia di lomba dunia.”

“Itu karena saya menulis makalah tentang bambu dan banjir. Makalah itu menang karena juri kasihan mungkin.”


Freitas menggeleng.“Jangan rendahkan dirimu. Kau menang karena kau melihat sains dalam hal kecil. Itu yang kota besar sering lupa.”

Dialog mereka panjang, menyelam dari lelucon ke kelembutan. Di sanalah Giorgino belajar bahwa:

  • kemalasan masa kecil bukan dosa,

  • peradaban tidak ditentukan oleh gedung tinggi,

  • dan kadang orang besar lahir dari tempat yang paling kecil.


Giorgino tidak tahu bagaimana ia tiba-tiba terpilih ikut lomba sains tingkat nasional. Guru memintanya masuk karena “kau satu-satunya yang tidak takut tanya kenapa.”

Dia menulis makalah tentang bambu sungai dan meredam banjir. Makalah itu sederhana — tapi jujur, dan unik.


Ketika ia diundang ke lomba internasional, ia sebenarnya mengira panitia salah ketik.

Namun, semua benar. Ia menang. Ia menggenggam piala kecil yang kini terpampang di foto dalam prolog.


Dari sanalah dunia terbuka: Inggris. Amerika. Konferensi. Laboratorium.Orang-orang asing yang bertanya, “Di mana Papua?”Dan Giorgino selalu menjawab dengan bangga, “Di tempat mimpi sederhana bisa tumbuh.”


Di Amerika, Giorgino mengalami culture shock akademik:

Profesor bicara cepat. Mahasiswa bicara lebih cepat. Internet bicara paling cepat.

Ia menulis makalah, menjalankan eksperimen, dan mengingat mangga setiap malam.

“Saya rindu kampung,” katanya pada seorang teman.Temannya menjawab, “Kau rindu mangga atau kampungnya?”“Dua-duanya.”

Pengembaraan ini membuat Giorgino sadar: sungai dan laboratorium punya pola pikir yang sama. Keduanya mengajarkan aliran, percobaan, dan ketidakpastian.

Ada satu kisah legendaris: Mayor Freitas tersesat di stasiun Underground.

Ia bertanya pada seorang nenek, “Di mana pusat peradaban?”Nenek itu menunjuk ke arah gerai kopi yang menawarkan Wi-Fi gratis.

“Di sana, Nak. Peradaban mulai di tempat yang sinyalnya kuat.”

Sejak itu, Freitas menjadikan cerita itu senjata humor dalam semua rapat.

Bagi keduanya, satire adalah cara memahami dunia yang terlalu serius.

Giorgino menulis esai satir berjudul: “Mitos: Anak Kampung Tidak Punya Mimpi.”

Ia menulis:“Anak kampung bukan tidak bermimpi. Mereka hanya tidak diberi infrastruktur mimpi.”

Esai itu viral. Banyak orang tertawa, banyak pula yang tersinggung. Tapi esai itu penting — karena ia melawan mitos yang terlalu lama dibiarkan hidup.

Suatu hari, Giorgino kembali ke kampung dengan beberapa laptop bekas. Ia mengajar anak-anak coding.

“Mengapa tombolnya banyak?” tanya seorang anak. “Itu supaya kamu bisa jadi ilmuwan.” “Apa itu?”“Orang yang dibayar untuk berpikir.”Anak itu terkejut. “Serius? Saya mau!”

Sementara mengajar, seekor mangga jatuh di kepala.Anak-anak tertawa.Dan ilmu tiba-tiba terasa akrab — seperti buah yang jatuh pada waktunya.

Mayor Freitas menggunakan jabatannya membantu membuat program pelatihan guru untuk Papua.

Dalam rapat ia berkata:“Kalau kita mau merubah negara, mulai dari guru. Kalau guru malas, murid bingung. Kalau murid bingung, negara capek.”

Pejabat-pejabat tertawa — tapi menyetujui.

Giorgino dan Freitas duduk lagi dalam kedai yang sama.

“Gio,” kata Freitas, “kau sadar tidak? Kita ini produk kebetulan.”“Kebetulan?”“Ya. Kebetulan dapat guru baik, buku tua, peluang langka. Tapi anak-anak kampung seharusnya tidak hidup dari kebetulan.”

Giorgino mengangguk. Keduanya diam lama — bukan canggung, tetapi karena pikiran mereka sedang memanjat pohon masa depan.

“Mayor,” kata Giorgino, “kalau saja saya sekolah pakai kurikulum luar negeri sejak kecil…”“Ya?”“Mungkin saya juara fisika antargalaksi.”Freitas tertawa. “Kalau begitu, saya ingin jadi atase pertahanan Planet Mars.”

“Negosiasi damai antar alien?”“Tentu. Saya sudah latihan menghadapi pejabat-pejabat kok.”

Tahun berikutnya, foto baru datang.Anak-anak kampung duduk melingkar di depan papan tulis. Di belakang mereka: panel surya kecil, hasil program baru yang dibantu Giorgino dan Freitas.

Di pojok foto tertulis:

“Belajar dan Tumbuh untuk Menjadi Manusia Merdeka.”

Giorgino menatap foto itu lama. Ia memikirkan pohon mangga, sungai, buku tua, dan lomba sains.

Ia mengirim pesan ke Freitas:“Mayor, lihat. Mereka tidak menunggu kebetulan lagi.”

Freitas membalas:“Ini namanya peradaban, Gio. Yang asli.”

Dan dengan itu, cerita ini berakhir — bukan pada garis finis, tapi pada titik awal baru.


 
 
 

Comments


Feel free to share your thoughts and feedback with me.

© 2023 by The New Masters Wear No Uniform. All rights reserved.

bottom of page